Aku merasakan tubuhku. Mulai setengah jam yang lalu
sepertinya kesadaranku mulai pulih. Tapi mengapa begitu gelap semua? Mengapa
sulit sekali kugerakkan kaki dan tubuhku? Perlahan mulai kuraba sesuatu yang
sepertinya menutupi wajahku. Perban. Seluruh wajahku dibalut dengan perban. Ada
apa ini? Mengapa rasanya sakit sekali. Perih. Wajahku, apa yang telah mereka
lakukan pada wajahku? Kucoba bergerak lagi dan meraba bagian tubuhku yang lain.
Beberapa bagian tubuhku yang lain pula dibalut dengan perban. Semakin lama aku
semakin bingung dan tiba-tiba rasa sakit yang tak terkira menyerang seluruh
bagian tubuhku yang terbalut perban. Refleks saja aku berteriak kesakitan,
“Aaaaack………Ya Allah. Sakit….” Berkali-kali aku berteriak hingga beberapa orang
datang dan berbiacara bahasa korea. Ya Tuhan, tentu saja. Aku memang sedang
berada di Seoul saat kejadian terakhir sebelum ragaku berubah menjadi seperti
ini. Di tengah kesakitan, aku mencoba mengingat apa yang sebenarnya telah
terjadi sebelumnya hingga aku berakhir disini. Tetap saja aku tak ingat. Karena
enam bulan sudah aku berada di Seoul, aku sudah mengerti apa yang mereka
katakana, yang mereka bicarakan. Sekelompok orang yang mendatangiku itu
sepertinya adalah dokter dan beberapa perawat.
“Suster, anastesinya sudah habis. Dia akan mengalami sakit
luar biasa di seluruh tubuhnya. Beri cairan penahan rasa sakit sekarang juga
dan berikan secara berkala hingga ia tidak akan kesakitan seperti ini lagi!”
Salah satu dari mereka berbicara. Mungkin itu adalah dokter.
“Baik dokter” salah satu perawat menjawab
Aku sudah tak bisa menahannya lagi. Aku hanya diam dan
menahan rasa sakit saat salah satu perawat menyuntikan sesuatu pada tubuhku.
Setelah itu aku kembali kehilangan kesadaran. Entah sudah berapa lama aku
terbaring di ruangan ini dengan perban yang menempel di tubuh dan wajahku ini.
Tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak di bagian wajahku. Seseorang. Seseorang
pasti tengah mengganti perban dan pakaianku. Aku sudah sadar tapi tak bereaksi.
Tubuhku terlalu lemah untuk melawan. Jadi, hanya akan kutunggu hingga mereka
selesai mengganti perbanku. Beberapa saat kemudian baru kusadari bahwa mereka
sudah tidak menutup mataku. Benarkah? Kuberanikan diri menggerakkan tangan dan
meraba bagian mata. Benar. Mereka benar membuka perban bagian mata. Walaupun
sudah kuraba bagian mata, tetap saja tak ingin ku membukanya. Bagaimana jika
nanti aku benar-benar tak bisa membukanya? Bagaimana jika aku tak bisa melihat
dunia lagi? Bagaimana jika hanya buram yang terlihat? Selanjutnya aku hanya diam
hingga terdengan suara langkah kaki beberapa orang. Tampaknya itu bukan dokter
dan perawat lagi. Karena mereka sudah berada di sampingku sedari tadi. Karena
penasaran, kuberanikan diri membuka kedua kelopak mataku dan syukurlah aku
masih memiliki pengelihatan seperti sebelumnya, bahkan lebih baik. Mulailah
kujelajahi seisi ruangan tempat aku menginap selama ini. Benar, ini memang
benar rumah sakit. Saat kulayangkan pandanganku pada bagian sisi kananku,
selain dokter, terdapat beberapa orang setengah baya bertuxedo yang tersenyum
ke arahku. Salah satu dari orang itu, aku mengenalinya. Aku yakin aku pernah
melihat wajahnya. Meskipun terus kuingat, aku tetap lupa, sampai akhirnya salah
satu dari mereka menyapaku.
“Selamat pagi. Bagaimana kabar anda? Apakah tubuh anda masih
sakit sekali?”
Aku hanya mengangguk dan sedikit membungkuk sebagai tanda
menghormatinya. Namun, orang itu tetap tersenyum seraya berbicara dengan
dokter.
“Dokter, bagaimana dengan keadaan Alinda? Kapan tubuhnya
akan memasuki masa penyembuhan?”
Oh Tuhan, mereka mengetahui namaku. Siapa mereka? Mengapa
mereka mengetahui keadaanku lebih baik daripada keluargaku sendiri. Tidak!
Keluargaku. Aku belum memberitahu mama tentang apa yang terjadi padaku. Apakah
mama sudah datang ke seoul? Apa keluargaku sudah tau apa yang sebenarnya
terjadi kepadaku. Semua pertanyaanku itu tetap saja terkumpul di otakku tanpa
ada yang terjawab. Sementara itu, dokter sepertinya sedang member tahu
keadaanku kepada orang yang tadi menyapaku.
“Alinda telah melalui operasi yang besar dan melelahkan.
Selain itu, biusnya pun telah hilang dan ia tengah mengalami kesakitan luar
biasa pada bagian-bagian yang dioprasi sebelumnya. Maka dari itu, kami hanya
bisa memberikan obat peringan rasa sakit sementara hingga lukanya pulih dan ia
akan memasuki proses penyembuhan.”
“Kira-kira, kapan hal itu akan terjadi? Keadaannya pulih?” laki-laki itu bertanya
kembali
Dokter menjawab “Keadaannya kini berangsur pulih. Sementara
ini ia sudah mendapatkan kesadarannya, namun belum sepenuhnya. Setelah beberapa
hari, ia mungkin sudah dapat berkomunikasi dan dapat mengkonfirmasi mengenai
keluarganya.”
Aku mendengar semuanya. Apa yang mereka katakan tentang
kondisiku.
No comments:
Post a Comment