Life is just Stories

Life is just Stories

Monday, September 24, 2012

New Project Eps. 1


Dua hari yang lalu sepertinya telah menjadi akhir dari segala kegelisahah yang selalu muncul dalam tidurku. Yup, setelah membuat perjanjian dengan diri sendiri kini waktunya membuat perjanjian dengan kamar tercintaku ini. Sebagai seorang remaja bertanggung jawab dan selalu bermimpi menjadis seorang akuntan, aku telah membiasakan diriku untuk menulis semua target, langkah, ataupun sesuatu apapun yang akan aku lakukan atau yang akan aku capai.salah satunya adalah salah satu proyek baruku yaitu “Membuktikan kepada seluruh warga WIS (Walvis International School) bahwa seorang TIVA bisa melakukan kal ter-danger dalam hidupnya : PACARAN”

Vertical Scroll: NEW PROJECT
GO!!!!!
WIS, I’ll PROOF IT!!!!

12 SEP 2011
Mualailah aku dengan menempelkan poster besar di sudut kanan kamarku dengan tulisan yang lantang.










NEW PROJECT
GO!!!!!
WIS, I’ll PROOF IT!!!!

12 SEP 2011






Setelah berkomitmen dengan diri sendiri dan kamar tercinta, mulailah proyek ini. Sebelum menulis langkah pertama, aku harus memastikan targetnya terlebih dahulu, atau dapat dibilang “lelaki malang” yang akan aku dekati. Kemungkinan besar semua lelaki yang memenuhi syarat adalah penghuni kelas Q di WIS. Baik itu sorang junior, middle, ataupun senior karena saat ini aku sedang ada di third school (senior)*. Tidak! Dari senior saja, tak bisa bayangkan aku berpacaran dengan anak kecil. Dari segi kualitas dan kuantitas, siapapun tidak akan meragukan kelas Q jika ia memang warga WIS atau setidaknya mengenalnya. Aku pernah  menjadi anggota kelas Q selama tiga kali dalam setahun waktu aku masih seorang middle. Anggota kelas Q haruslah seorang murid yang pandai, rajin, cerdik, supel, taat aturan, dan memiliki perekonomian yang cukup. Satu hal lagi, secara tidak langsung persyaratan lain dari kelas Q adalah “populer”. Seulas senyum menguntai dari bibirku, senang juga mengingat masa lalu. Memang penghuni kelas Q itu tidak tetap setiap bulan, semua tergantung prestasi murid-murid WIS yang dirangking setiap satu bulan sekali. Dua puluh lima teratas akan menduduki posisi kelas Q. Tentu saja, hati siapa yang tidak akan bergetar jika melihat sepasang kekasih yang berasal dari komunitas Q, pasti semua akan mengakui ke-eksis-annya di WIS.that’s the purpose! Itu tujuanku! Membuktikan kepada seluruh anggota WIS khusunya pada

Music Video Ter-Galau Eps. 1


Berjalalan menyusuri jalan Braga dengan sahabat-sahabat sejatimu itu mungkin sesuatu yang sangat menyenangkan yang tak bisa dibandingkan dengan apapun. Sesuatu seperti ini sudah menjadi sebuah kebiasaan sejak aku menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung. Bukan karena aku suka berbelanja, bukan juga karena aku punya uang berlimpah sehingga hanya perlu menghabisakannya. Tapi kebiasaan ini bermula sebelum bertemu mereka, ketika aku ditimpa berbagai masalah mulai dari masalah akademik dan non-akademik. Waktu itu, tepat 3 bulan setelah aku dilantik menjadi mahasiswa, aku benar-benar terjatuh. Benar-benar jatuh tersungkur sehingga tak mampu lagi berdiri, tak tahu lagi berpijak. Semua seakan meninggalkanku, teman-teman dari asal ku. Setelah itu, aku hanya bisa berjalan tanpa tujuan. Aku berjalan menyusuri jalan dekat kampus, terus menjauh dan menjauh hingga tiba di sebuah jalan yang sangat ramai. Ada sebuah palang bertuliskan bahwa nama jalan itu adalah jalan braga. Saat itulah aku sahabat-sahabat sejatiku saat ini.

Jam tanganku sudah menunjukan pukul 5 sore. Tak seperti biasanya, kita selalu bertemu di simpang Dago jam 4 sore. Kemana saja mereka? Apa jalanan begitu macet hingga mereka tak bisa datang tepat waktu. Aku begitu penasasran hingga ku hubungi mereka berulang kali. tetap saja tak ada jaawaban. Satu jam berlalu, kuputuskan untuk pulang saja ke rumah kos. Hari ini memang hari jumat, tanda akan banyak penghuni kos yang pergi bersama kekasih mereka atau paling tidak, dengan teman-teman mereka. Tapi aku bukan orang yang mudah bergaul hingga memiliki banyak teman untuk diajak pergi. Bukan pula anak yang sangat cantik sehingga memiliki kekasih. Mukaku benar-benar pas-pasan menurutku. Tapi Kalila, salah satu temanku itu sering sekali memperkenalkan aku dengan teman-teman laki-lakinya. Dia bilang aku sangat cantik dan banyak temannya yang ingin berkenalan denganku. Semua itu mungkin saja bisa dilakukan, maksudku memiliki kekasih. Entahlah, aku masih merasa belum bisa menjalin hubungan sebelum aku bisa mencari uang sendiri. Sebelum bisa membiayai diriku sendiri. Jadi, Friday night ini aku sendiri. Hanya bergelut dengan komputer dan mixer ku mencoba untuk menulis beberapa lagu lain. Aku diam bukan berarti aku tak respon dengan segala perubahan yang ada di dunia ini. Aku mengerti semua genre musik, bahkan genre-genre baru yang muncul belakangan ini. Aku menyukai beberapa diantaranya, seperti jazz, ballad, pop, dll. Musik itu selalu dapat mengubah moodku seketika bila aku sedang lelah dengan segala urusan kuliah. Bila aku bosan dengan segala kepalsuan yang ada di himpunanku, di sekitarku, aku akan mendengarkan music, meresapinya hingga mulailah aku membuatnya. Aku mulai membuat beberapa notasi dan irama tanpa lirik yang berarti sehingga aku tak pernah berpikir untuk melengkapinya dengan lirik. Tetapi setelah aku berpikir ulang, ternyata lirik lebih mampu mewakili perasaan terdalam mu. Lebih membuatmu tenggelam di dalam lagu itu. Selanjutnya, aku mulai dengan menulis lirik-lirik dalam bentuk puisi dan mencoba menerapkannya dalam beberapa laguku. Lagu-laguku hanya aku dengarkan sendiri. Tak pernah kucoba untuk memperdengarkan kepada orang lain. Aku terlalu takut bahwa mereka tak akan menyukainya dan menertawakannya.

Sudah jam 12 malam tapi tetap tak ada yang menjawab sms serta teleponku. Aku semakin bingung, ada apa dengan mereka semua. Karena sudah bosan dengan internet, kucoba menyalakan TV dan acara pertama yang muncul adalah acara berita TV malam. Kutonton saja dengan asal-salan saat berita selanjutnya sangat mengganggu telingaku. Mereka menyebutkan tentang masalah kecelakaan lima orang remaja wanita di Jalan Kopo Bandung. Aku pikir daerah itu dekat dengan rumah kelima sahabatku. Saat kudengarkan beritanya dengan saksama, seakan aku berhenti bernapas. Seprti ditimpa bongkahan es besar, tubuhku diam dan mendingin. Keringat meluncur deras dari seluruh tubuhku. Itu mobil Kalila. Mobil salah satu temanku dan ternyata kelima remaja yang ditimpa musibah itu adalah benar-benar kelima temanku. Tubuhku bereaksi, air mata langsung keluar saat sang reporter berkata bahwa kelima orang itu meninggal langsung di tempat. Bergegas ku ambil jaket dan tas. Langsung saja ku naiki mini cooperku menuju Rumah Sakit. Sesampainya disana, aku diberitahu bahwa kelima temanku sudah berada di ruang jenazah. Seketika lutuku menjadi lemas, mata berkunang-kunang. Aku tak mampu lagi menahan tangis yang pecah hingga semua orang memandangiku. Bagaimana tidak, semua teman yang selalu menyeka air mataku, menemani kesendirianku, menjadi sahabat sejatiku, pergi begitu saja saat aku bahkan belum siap menghadapi dunia ini sendirian. Aku merasa saat ini hanya ada aku di dunia ini. Aku akan kesepian lagi, kesakitan lagi dan terjatuh hingga tersungkur lagi tanpa ada orang yang akan menyelamatkanku. Kulihat satu persatu wajah terakhir mereka di ruang jenazah. Aku bahkan marah kepada mereka. Kenapa kalian meninggalkanku sendiri disini. Kenapa mereka berlima pergi dan aku tidak. Dan kenapa harus pergi selama-lamanya. Berjam-jam kuhabiskan waktuku hingga mengantarkan mereka ke masing-masing mobil jenazah bersama keluarga mereka menuju rumah mereka masing-masing. Aku tidak kuat lagi, aku hanya bisa meringkuk melihat mereka pergi. Meringkuk sambil mendengarkan salah satu lagu yang baru kubuat tadi malam. “Six is better than one”. Sebenarnya ini lagu untuk kita berenam mengahdapi dunia. Namun kini hanya ada satu, aku, menghadapi dunia, sendirian.

Kubuka kedua mataku dan berharap semua kejadian kemarin hanyalah mimpi. Bahwa mereka masih ada di sampingku. Namun sebanyak apapun aku menyangkal kenyataan itu, mereka tetap sudah berpulang dan tak akan kembali lagi. Aku memutuskan untuk tetap meneruskan hidup, walau tanpa pilar-pilar utama. Aku harus tetap menjadi seseorang yang sukses, seperti kata orang tua dan saudara-saudaraku. Setidaknya mereka masih ada dan tak meninggalkanku.

Friday, September 21, 2012

Asdos itu Sinting, tapi....


Shit!!! Asdos Sinting, tapi.......


Finally........setelah berjam-jam waktu terlewati, berpuluh-puluh kertas kuhabiskan, dan berkali-kali aku makan, selesailah tugas kalkulus yang menyesakkan ini. Tuhan... cuaca diluar sana sangat bagus, ingin sekali aku merentangkan tangan di halaman dan merasakan udara hangat dengan angin sepoi yang menggelitik. Mendengar burung-burung berbicara, dan memejamkan mata untuk sekedar tersenyum. Tapi itu semua sudah berakhir saat berakhir pula tugasku ini, karena saat kulayangkan pandanganku ke arah jam dinding, jarumnya sudah meneriakkan jam 9 malam.
Beribu ucap syukur sudah terlalu bosan kuucapkan saat rampunglah tugas kalkulusku. Entah apa yang dipikirkan Asdos (Asisten Dosen) itu saat memberi tugas jahannam ini kepadaku. Kalau saja dua hari lalu aku bisa bertemu orang itu, entah apa yang akan aku lakukan padanya. Sebenarnya seperti apa laki-laki dewasa itu? Mengapa seolah-olah dia 'menyihir' temanku hingga senang membicarakan namanya saat di kelas kalkulus? Mungkin salahku juga yang tidak masuk pada hari pertama dimulai kelas kalkulus dua hari yang lalu. Tapi lima hari lagi aku akan melihatnya. Tidak sabar.
"Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh" salamnya yang lantang itu membuyarkan mataku yang sudah akan terpejam. Akhirnya datang juga. Kusiapkan bangku dan bukuku yang biasanya tidak pernah kulakukan. hari ini pula aku memilih untuk duduk di bangku paling depan pas dengan meja dosen, hingga dapat melihatnya dengan sangat puas. Penasaran. Saat kutegakkan kepalaku, kata pertama yang kuucap jauh di lubuk hatiku adalah,"Subhaanallah". Pada saat itu pula sudah dapat terjawab beribu-ribu pertanyaan dalam hatiku tentang mengapa 'orang ini' selalu menjadi buah bibir di kelas. Hanya satu kata untuknya. Tampan.
Dua jam berlalu dengan cepat, salah satu temanku menyapa asdos itu dengan panggilan Kak Naren. Jadi itulah namanya, Naren. Pikiran yang lambat. Entah mengapa semakin hari aku semakin penasaran dengan orang itu, apa yang telah membuatnya menjadi orang yang begitu kaku dan sangat-sangat tidak menikmati hidup yang indah ini. Tuhan...... masih ada hambamu yang seperti Kak Naren di abad ke 21 ini, tolong selamatkan dia..... hihihi aku memikirkan keanehan Kak Naren sambil berjalan dan membuatku tertawa sendiri seperti sedang gila. Hah, apa-apaan ini!! Belum apa-apa dia sudah buat aku jadi gila.

Setelah beberapa langkah aku baru menyadari bahwa aku melewatkan ruang perpustakaan prodi tadi. Segera aku berbalik untuk sekedar mencari diktat sumber untuk bahan mata kuliah Fisdas besok. Saat tiba di perpustakaan, ruangan bergaya Eropa itu tampak sepi sekali seperti tak berpenghuni, tapi.... setelah melewati meja penjaga ternyata kutemukan seorang lelaki sedang terpekur sendiri menyelami buku setebal 20 cm (lebay) di depannya. Aku tak mungkin repot-repot memperhatikannya kecuali ternyata memang dia adalah orang yang kukenal. Sangat kenal. Apa yang dilakukan Kak Naren di perpustakaan saat ini? Maksudku, apa dia tidak terlalu bosan untuk terus membaca dan tenggelam dalam beribu-ribu huruf setiap hari atau bahkan setiap saat? Entahlah. Tetapi saat kudengarkan lebih teliti..... Oh God, bukan. Dia bukan sedang membaca, tapi sedang menangis.Mataku membelalak tak percaya dan saat itu juga ia mendongakkan kepalanya dan bertatapan langsung denganku. Bertatapan langsung. Tatapan matanya sangat berbeda dari biasanya. Bukan seperti tatapan Adolf Hitler yang biasanya mendongengiku di kelas, tapi seperti tatapan anjing yang tersesat di jalan saat hujan lebat. Tiba-tiba saja aku menjadi sangat kasihan dengan Asdos sinting itu. Dengan berlagak sok kenal aku mendekainya seraya berkata singkat,"Ada yang salah kak?" Tapi dia tetap tak bergeming, saat akan kutinggalkan dia bersama tangisannya tiba-tiba saja ia bediri dan mengucapkan sebuah kalimat aneh. "Apa saya begitu tak menyenangkan? Apa kamu malu kalo punya kakak seperti saya??". Apa yang harus aku lakukan saat itu? lantas saja kujawab dengan ringan,"Kak Naren tanya saya?" Dia diam. Mulutku tiba-tiba saja berbicara yang menurutku agak ngelantur, "Kak, kalo menurutku gak ada orang yang terlalu memalukan. Hanya saja, tergantung lingkungan ia tinggal." Ops.... ngomong apaan sih aku!! Tiba-tiba aja Kak Naren pergi. Dasar aneh.
Keesokan harinya aku tak pernah lagi bertemu dengan Kak Naren. Tetapi, baru saja aku menggaruk janggut karena berpikir, seseorang berbisik ke telinga kananku, "Saya tunggu di selasar plano setelah kuliah saya."
satu kata : Shit!!!
Stetlah sampai di selasar plano dengan terengah-engah, orang itu ternyata langsung to the point dan membicarakan maksudnya menyeretku ke selasar ini.
"Kamu alumni pondok pesantren kan?" tanya Kak Naren
"Iya kak, emang kenapa?" tanyaku heran. Firasat buruk.
"Saya udah tau tempat kos kamu, besok minggu jam sembilan pagi saya jemput.
"Jemput kemana kak?"
"Kerumah saya. Kamu punya tugas penting banget yang harus dilaksanain!!! Gak pake nolak, atau nilai F yg bakal keluar di Kalkulus."
Aku hanya diam sambil membatin,"Dasar, Asdos sinting!!"

Keesokan harinya Kak Naren benar menjemputku dengan menggunakan Kia Picantonya yang berwarna hijau mengkilap itu. Setelah tiba di rumahnya aku masih belum ada gambaran tugas apa yang harus aku lakukan di rumah Asdos? apa aku bakalan dijadikan pembantu rumah tangga? Tidak mungkin. Setelah masuk ke rumahnya barulah aku sadar aku benar-benar sudah dijadikan tumbal oleh Asdos sinting itu. Di dalam rumah itu, sudah berkumpul semua keluarganya tanpa terkecuali termasuk kakek dan neneknya. Dengan lantangnya ia tiba-tiba memecah keramaian di rumah itu dengan kalimat yang benar-benar sangat tidak aku harapkan.
"Pah, Mah, saya mau perkenalkan kalian sama Diar. Dia,,,,, ya gitu lah..."
Hatiku dengan reflek segera mencaci,"Mampus!! Apa-apaan sih Asdos ni!!Sintingnya nambah merembet kemana-mana." Aku yang sudah mati kutu ini, terus saja dilihat oleh mereka-mereka.

“Mah, pah, nek, tir, ini Kelsi. Nama panjangnya Maulidiar Rahma Kelsi Fachriza. Tapi panggil aja Kelsi.”
Lantas apa yang akan kulakukan? Aku hanya tersenyum kaku saat mereka melihatku dengan tajam. “Tuhan…. Cobaan apa lagi yang engakau berikan kepadaku?” Tapi beberapa saat kemudian tiba-tiba tatapan mereka menjadi berubah. Menjadi ramah.
“Alhamdulillah… akhirnya Naren punya pacar juga. Benar kan jang?? Ini pacar ujang kan? Tanya seorang wanita lansia-sepertinya nenek-kepada kak Naren.
Tebak apa yang dilakukan oleh Kak Naren? Dia hanya tersenyum. “What??? Sikap apa-apaan itu!! Apa asdos itu udah gila? Ya ampuuunnn, kalau bisa kucekik dia, bakalan kucekik sekarang juga. Bila perlu, kutelan dia tanpa pisang.
Acara “arisan keluarga itu tak terasa juga sudah berakhir dan Kak Naren meminta izin pada keluarganya untuk mengantarku pulang. Sepanjang perjalanan ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku? Apalagi! Saat sudah terlihat gerbang kosanku, mobil hijau itu berhenti perlahan-lahan. Saat akan kuraih pintu mobil, tiba-tiba Kak Naren seperti menahan tanganku.
“Maaf, maaf saya gak bilang sama kamu tentang hal ini sebelumnya, karena kamu memang gak akan mau kan?” belanya
“Kalo tau aku nggak mau kenapa masih dilakuin sih?” jawabku agak sengit
“Cuma kamu satu-satunya teman yang bisa nolong aku dalam keadaan ini. Kamu alumni pesantren di Jombang kan? Itu cocok banget sama kriteria keluarga saya. Pliss, jangan menyerah dulu ya? Mereka nggak mungkin menyulitkan kamu kok.”
Aku hanya dian memikirkan salah satu kata yang diucapkannya tadi “teman”?? apa mergokin oang nangis di perpus prodi aja udah bisa dibilang teman. Lalu aku memberi respon,”OK Kak, aku lanjutin permainan satu ini, asalkan kalkulusku mulus semester ini, gimana?”
“Itu masalah gampang Kel….” Jawab Kak Naren sambil tersenyum.
Dalam hatiku berkata, “Manis juga kak Naren kalo senyum….… hihihi”
Hari demi hari berlangsung lumayan cepat, Kak Naren sering mengajakku pergi ke rumahnya. Orang tuanya sering sekali menanyaiku mengenai pondok psantren almamaterku dulu. Ya….. Tebuireng, siapa yang tak kenal dengan salah satu pesantren kesohor itu. Adiknya juga lumaya ramah, hihihi sebagai adik perempuan yang memiliki kakak seperti Kak Naren, dia lumayan tabah menghadapi nasib memiliki kakak yang sangat kaku dan kolot itu. Tapi yang membuatku aneh adalah sekarang-sekarang ini, Kak Neren sering mengajakku bahkan ke tempat-tempat lain seperti Sushibun, Hanamasha, Gramedia (Dasar kutu buku!), bahkan dua menit lalu Kak Naren mengirimkan pesan dibawah email tugasku. “Ke BSM nanti siang”. Apa rencana yang sedang ia buat sekarang??
Acara jalan-jalan ke BSM tadi lumayan sukses. Kak Naren nggak pernah tertawa selepas tadi. Kasian banget hidupnya. Kalo liat matanya yang sendu itu, aku selalu ingin mengusapnya agar bisa bercahaya lagi, ingin kuhibur seperti dia yang biasanya selalu melakukan hal-hal aneh jika kehidupan kampus tidak berjalan indah. Sebagai salah satu mahasiswa STEI di ITB, aku yang latar belakangnya seperti mendapat dewi fortuna ini memang sering terseok-seok menghadapi cobaan persingan di kampus. Belum lagi jumlah siswa laki-laki yang terlampau banyak melebihi wanita. Sering sekali Kak Naren mengajakku untuk belajar bersama, ia menganggapnya belajar bersama. Tapi aku menganggap bahwa ia memang sedang membantuku. Mengajari matri-materi yang mungkin menurutnya hanyalah seperti cemilan itu. Miris. Entah sejak kapan aku  terus memikirkan laki-laki berkulit putih dan berdagu topas itu. Apa yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah berdo’a agar semua ini cepat berakhir, permainan ini cepatlah berakhir. Karena hanya akan luka yang akan timbul jika aku tak bisa menahan perasaan ini lebih lama.
Renunganku kemarin memang telah membuatku sadar, perlahan aku mulai menjauhi Kak Naren. Tidak membalas emailnya, sering merijek teleponnya, bahkan sempat menolak makan di Hanamasha (Sayang….. shabu-shabbunya enak banget). Kak Naren mungkin juga sudah menyadari hal itu. Lebih sering ia mengirim email. Tetapi ada yang aneh dengan email terakhir yang dia kirim.

Everyday ‘d been just a suck before you came
Facing the truth that never gonna be better for my life
Avoid the glory, that you came after it
I’ve just feel another taste, a good taste
The best
Because of you
Just after you came, no other

Apapun artinya email itu, tekadku sudah bulat untuk mula perlahan meninggalkan fatamorgana ini. Semua takkan bertahan lama.
Terakhir juga ujian semester ini, akhirnya aku bisa melewati saat-saat enam bulan pertamaku yang sulit di Kampus Teknologi ini. Baru saja aku keluar dari kamar mandi CC Barat, aku melihat pemandangan yang sangat indah. Seseorang yang tak pernah kulihat setidaknya dalam 1 bulan ini. Yup, usahaku untuk menjauh dari kak Naren membuahkan hasil. Setelah beberapa minggu aku mencoba menjauh akhirnya ia juga menjauh. Tepat seperti dugaanku. Tak akan mungkin jadi kenyataan. Bagaikan punguk yang merindukan rembulan. Jika melihat dari luar memang hanya bisa terlihat sebagai seorang pria kutu buku  yang membosankan. Tapi yang sesungguhnya, hatinya begitu lembut hingga tak bisa dimengerti oleh orang lain. Kak Naren sedang duduk santai di depan mushola CC barat. Aku masih diam. Tersenyum sendirian melihat Kak Naren, tak terasa air mata menetes membasahi pipi yang sudah lelah ini. Ingiiin sekali mendekat, dan menghambur ke arahnya. Tapi, apalah daya, aku yang akan terluka nantinya. Sesaat kemudian, tiba-tiba Kak Naren melihat ke arahku. Aku tetap diam dengan air mata membanjir.
Bodoh!! Cepat pergi dari sini… umpat diriku sendiri. Kak Naren sudah setengah berlari menuju ke arahku. Aku kemudian baru merespon dan mulai melarikan diri. Segera kutambah kecepatan lariku. Selama lari itu, aku tak tahu apakah dia masih mengikutiku atau tidak. Kekuatanku sudah habis saat kusadari sudah berada di Aula Barat. Aku berhenti terengah-engah dan ternyata memang kak Naren masih mengikutiku. Dia mendekat hingga berada tepat di depanku.
“Kenapa kamu ngilang Kel? Selalu lari dan menjauh begitu dari saya?” tanyanya singkat.
“Nggak, aku Cuma sibuk. Aku nggak ngilang kok.” Elakku
“Terus kenapa tadi kamu lari?” tanyanya lagi
“Udahlah Kak” elakku sambil berusaha untuk kabur
Saat aku sudah berbalik membelakanginya, tba-tiba ia membisikkan hal yang benar-benar membuatku membeku
“Nggak kangen sama saya Kel? Setelah semua ini, satu bulan kita nggak ketemu. Nggak adakah rasa kangen sedikit?”
Aku diam. Aku tak pernah tahu apa kalimat yang tepat untuk membalas pertanyaan itu. Hanya hati keciku yang berteria, “Iya kak….Iya…. Aku kangeeen banget ama Kak Naren.” Tapi aku terlalu takut mengatakannya. Lagi-lagi hanya air mata yang bereaksi. Sesaat itu kita hanya diam, tapi segera Kak Naren mendekat dan kemudian mendekap. Taka da yang dikatakan olehnya. Begitu juga denganku. Hati kecilku lalu membentak, “Kels, back down to earth!!” Segera kulepas pelukannya dan pergi menjauh. Lagi. 


Seminggu setelah kejadian naas itu, aku masih belum bisa melupakannya. Selalu terbayang saat aku melewati Aula Barat yang selalu menjadi jalur masukku ke kampus. Khusunya di depan toilet tak terpakai yang mennjorok ke bawah itu. Kembali aku melewati Aula Barat. Hanya berhenti sejenak untuk mengenang. Setelah itu, langkahku kembali bergulir dan menuntunku ke arah gedung labtek VI. Entah mengapa ingin sekali membaca buku fisika. Tapi, hari ini diktat fisika tak kubawa dan kuliah masuk 3 jam lagi. Entah mengapa aku ingin sekali ke kampus. Kakiku terus melangkah hingga ia mengantarku ke depan pintu perpustakaan prodi. Perlahan kubuka pintunya dan kutemukan bahwa hari itu sama sepinya dengan beberapa bulan lalu saat aku bertemu dengan Kak Naren. Reflek aku memilih meja yang berada di paling pojok, sebenarnya model bangku perpustakaan prodi itu seperti membelakangi. Aku merasa ada orang di belakangku, tapi ia mungkin tak bisa mengetahui keberadaanku karena memang tak terlihat. Saat aku duduk terpaku di sana, terdengar suara seorang lelaki yang sedang bergumam. Aku bisa dengan jelas mendengar semua ucapannya

"Ada apa dengan kelsi? kenapa dia terus saja menjauh. Aku memang gak pernah bisa ngungkapin hal yang sedang terjadi diantara kita tapi apa dia gak bisa merasakannya? Apa kelsi benar tidak pernah merindukanku?? Dia tahu aku sangat rindu......"

Kata-kata itu begitu membingungkanku. Tak tahan lagi segera aku berlari ke hadapan orang yang berbicara tadi. Dugaanku benar, orang itu adalah Kak Naren. Aku hanya bisa menangis lagi di hadapannya, tak berani melakukan apa-apa. Perlahan ia berdiri dan menarikku ke dalam pelukannya. Dengan suara yang terseok-seok aku masih berusaha untuk mengatakan sesuatu, "Aku kangen sama kakak..... kangen... banget..."
ia membalas, "Apa kamu gak bisa ngerasain perasaan saya?"
"Aku takut kalo itu bukan perasaan yang benar-benar buat aku..."
Kak Naren membalas agak lama, "Perasaan saya selalu benar buat kamu dan akan selalu benar begitu selamanya. I love you Kelsi..... Sayang banget sama kamu....... forever selamanya akan selalu begitu. Hanya dengan kamu......"

Semua cerita kocak dan menyedihkan ini akhirnya berakhir dengan bahagia juga. Kak Naren tetap menjadi asdosku yang paliiing baik, paling tampan, pokoknya paliing segalanya deh.... Selain dapat pacar ternyata aku juga dapet guru les gratis dan makan malam gratis 3 kali seminggu. Kadang, kalo ketemu di kantin suka dijajanin. Enak juga punya pacar Asdos.....
Masa-masa kuliah memang sangat berat untukku, tapi selama masih ada Kak Naren, all is well. Kak Naren memang agak sinting.... tapi, gimanapun juga dia kan pacarku. hehehe.
HAPPY ENDING

Infinitely Mine Eps. 1


Infinitely Mine

When love has came. What can you do for avoiding?


Fajar Pratama
Hidup ini terasa seperti sudah basi saja. Jika orang lain dapat merasakan kehidupanku selama 22 tahun ini, mungkin dia akan cepat-cepat bunuh diri. Bukan karena kesulitan yang sangat berat ataupun cobaan hidup yang datang silih berganti. Tapi, Bosan. Hidupku sangat membosankan. Setiap hari selalu itu yang kuperbuat. Tak ada tantangan, tak ada yang mengisi. Sepi sekali. Saat-saat awal menjai seorang mahasiswa dulu, begitu seru sepertinya menjadi seorang assisten atau lebih terkenal dengan nama asdos. Tetapi, saat mendpatkannya, semua itu terasa hampa sekali. Menghadapi mahasiswa-mahasiswa baru setiap hari di tahun keempatku sebagai mahasiswa di ITB ini merupakan sesuatu yang sangat biasa saja. Seperti kebiasaan mandi setiap hari. Sebenarnya aku tak pernah mau menjadi pasif dan stagnan sampai disini. Dahulu kala, saat masa-masa SMA, aku adalah salah satu siswa yang paling aktif dalam hal berorganisasi. Panitia pensi, try out, pameran, dll.Tapi entahlah, saat memasuki kampus ganesha ini, semuanya berubah dan perubahan itupun merubah kepribadianku juga. Ingin sekali saat lulus nanti aku terjun di dunia Industri. Bekerja pada perusahaan gas dan minyak Internasional, juga menjadi jutawan di usia muda. Tapi kini, untuk bermimpi pun aku tak pernah berani. Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Biarkanlah hidupku mengalir dan berakhir seperti biasa.
"Pagi Kak Fajar...." sapa salah seorang mahasiswi FITB. Memang populeritasku di fakultas ini lumayan baik. Tetapi khususnya aku mengajar di jurusan Geodesi dan Geomatika.

Hari ini pertama kali aku mengajar lagi setelah liburan panjang yang disibukkan oleh penerimaan mahasiswa baru. Beruntung aku tak melamar seagai asdos untuk mahasiswa TPB. Masih kekanak-kanakan mereka itu menurutku. Akhirnya aku kebagian mengajar tingkat dua prodi geodesi geomatika.

Perdana masuk kelas, tak ada yang berbeda kecuali satu. Ada seorang wanita disini. Seorang gadis bejilbab dan berkacamata. Sejuk sekali pandangan dan senyumnya. Memang sebuah keajaiban jika dapat menemukan seorang wanita saja dalam prodi ini, apalagi wanita anggun seperti itu. Dalam sejarah Geodesi Geomatika, jarang sekali ada wanita yang mau masuk ke sini. Bahkan empat tahun terakhir tidak pernah dtemukan lulusan wanita dari prodi ini. Tapi apa benar ia memilih masuk prodi ini? Apa dia tidak salah kelas.? Entahlah. Saat akan kuabsen mereka, lantas kucari segera nama wanita dalam absen tersebut. Hasilnya nihil. Tak ada nama wanita disitu, ia benar-benar salah kelas. Tapia da satu hal lagi yang menarik perhatianku. Ada seorang anak yang memiliki nama yang sangat persis denganku dari mulai nama depan hingga nama belakang. “FAJAR PERMATA”. Aku makin penasaran lagi dengan kelas ini. Setelah ku absen beberapa mahasiswa, sampailah pada nama yang sama sepertiku.

“Fajar Permata” nadaku lumayan lantang menyebutkan itu nama.
“Hadir” jawab salah seorang mahasiswa. Begitu kagetnya aku saat mengetahui bahwa yang menjawab itu adalah seorang wanita. Mahasiswi itu tak salah kelas. Ada apa dengan ini, benar-benar tak biasa. Mahasiswa Geodesi bernama Fajar (sama sepertiku) ternyata adalah seorang gadis berjilbab seperti itu? Surprise yang menarik juga di awal tahun ajaran baru seperti ini.
Setelah selesai kuliah, aku segera melarikan diri ke Salman untuk menyerahkan diriku ke Tuhan. Aku bisa mengadu sepuasnya dengan Allah dan mengeluh apapun yang membuatku tak senang. Memang seperti pekerjaan seorang pengecut sekali, tapi itulah aku kini. Baru aku berniat mengambil sepatuku, terlihat sekilas bayangan seorang wanita yang sangat aku kenal. Aku baru menyadari bahwa itu adalah Fajar. Lucu sekali mengingat namanya, seperti memanggil diriku sendiri. Dia duduk diam memandangi sebuah buku agenda berwarna merah muda. Cantik sekali. Pikiranku yang mulai melantur itu kemudian segera terbuyarkan.

Keesokan harinya aku kembali bertemu dengan kelas geodesi. Kebetulan aku menjadi asisten salah satu mata kuliah yang lebih banyak mengadakan praktek daripada teori. Seperti hari ini, aku ingat sekali. Hari ini adalah kelas wanita misterius itu. Aku sangat penasaran mengenai kehliannya dalam praktek yang biasanya menjadi kelemahan seorang wanita. Anggapanku bahwa pastinya ia akan sulit sekali menyesuaikan diri, juga dengan kepribadian yang begitu anggun itu apakah dia mampu membawa alat-alat geodesi yang begitu menantang? Saat tiba di lab, Fajar itu duduk di paling depan seperti biasa. Ia tak pernah canggung dengan teman-temannya dan begitu pula dengan mereka. Terlihat bahwa mereka sangat menjaga mutiara satu-satunya dalam angkatan mereka. Tak sabar.
Aku menjadi sangat-sangat malu saat menyadari bahwa semua prasangka burukku ternyata tak satupun benar. Wanita ini memang sangat-sangat sesuatu. I think she's special.

Fajar Permata
Hari ini hari pertama aku menginjakan kaki di kampus bukan lagi sebagai mahasiswa TPB, melainkan GD'10. Bukan lagi memakai fakultas FITB melainkan Geodesi dan Geomatika. Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya mengapa aku memilih prod yang justru lebih banyak kaum adamnya daripada kaum hawa sepertiku. Bukan berniat menjadi cewe tomboy atau wanita yang sok cantik di tengah banyak lelaki, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Hal pertama yang aku pikirkan saat melihat opsi memilih prodi adalah 'Geodesi'. Sesuatu yang berhubungan dengan geospasial, kadaster, survei rekayasa pantai, dll. Semua itu selalu membuatku merinding dan tertawa bahagia. Sebagai salah satu gender minoritas disana, mungkin pernah terbesit rasa takut dalam hati. Tapi tidak, my dream is my destiny. Hal-hal berjalan dengan baik sekali sampai suatu saat.


Hari ini pertama masuk tutorial. Tak sabar melihat asisten yang sering sekali dibicarakan oleh kakak angkatan di IMG, padahal mereka mayoritas adalah pejantan. Asistennya pun pejantan. Tabu. Tak lama kemudian pintu terbuka dan datanglah sesosok pria, asisten. Pertama kali mata dan hatiku sama-sama mengucap, "Subhanallah"
Pantas sekali jika laki-laki itu sangat populer di GD. Matanya yang biru bersinar, alis hitam tebal, hidung yang terbentuk indah, dan bibir yang tipis seperti huruf alif itu benar-benar mengganggu konsentrasiku. Tuhan, aku tau di kelas ini hanya ada satu wanita. Mungkin memang, hanya aku yang akan terganggu konsentrasinya karena melihat lelaki yang sangat tampan.

Saranghae Miss. Genius! Eps. 1

Hari ini terasa lebih berat daripada hari-hari sebelumnya. Matahai seakan tak takut pada awan hitam di ujung sana. Burung-burung hanya bermalasan di kandang mereka sendiri. Sedangkan aku hanya diam disini sambil memandangi secarik kertas yang ada ti hadapanku. Semua ini tentang heavy rotation yang mungkin akan terjadi padaku. Tentang keputusan yang mungkin akan merubah hidupku yang mulai terasa bagaikan mimpi ini. Ya, hanya seperti mimpi karena tak akan mungkin terdefinisi oleh logika dan hukum-hukum yang ada mengenai teori ketertarikan dan teori mengenai diriku sendiri.
Semakin hari semakin memusingkan. Cepat lambat aku memang harus mengambil keputusan pada apa yang sedang aku hadapi. Semua masalah ini bermula ketika aku dilahirkan mungkin. Saat Tuhan dengan Kuasanya menganugerahkan kepadaku sebuah nasib menjadi seseorang yang mudah memahami, mudah mengerjakan, membuat, dan menyelesaikan. 
Mereka bilang aku pintar, cerdas, entah apalah itu. Tapi yang aku rasakan, hanyalah sama dengan yang lain. Aku hanya merasa bahwa aku bisa memahami lebih cepat. Itu saja. Tapi ternyata kedua orang tua serta guru-guruku tak merasa demikian. Mereka terus saja menekankan sesuatu yang tidak seharusnya kudapatkan pada umur-umur keemasanku. Mereka memaksaku mempersingkat semua study ku di SMP maupun SMA, bahkan semenjak dari primary school. Alhasil aku bisa memasuki salah satu universitas di USA yaitu Princeton dan mengambil major MANAGEMENT seperti yang diharapkan kedua orang tuaku. Dan seperti biasanya, aku menyelesaikannya lebih cepat daripada yang lain. Setelah 3 tahun lulus, aku langsung melanjutkan masterku di bidang Modern and Creative Business. Disanalah, untuk pertama kalinya aku mengenal dunia. Dunia yang lebih gemerlap daripada New York pada malam hari. Lebih damai daripada kota-kota Tuhan. Kita semua mengenalnya dengan Musik. Musik memang telah menyihir seluruh umat manusia dehingga mendjadikannya salah satu business project paling diminati dan memilii profit yang tinggi. Mulailan aku dengan mempelajari musik, menghapal musisi-musisi, dan membaca setiap situasi yang biasanya terjadi pada tiap-tiap masa keemasn suatu periode. 

Thursday, September 20, 2012

One Step Closer Ep. 1


Pagi ini, saya sedang duduk di teras rumah memandangi pohon-pohon di halaman rumah saya. Merasa bahwa hari ini tidak begitu berat, saya memutuskan untuk diam saja di rumah, sejenak melepaskan kepenatan dari kenyataan hidup. Pikiran saya melanglang buana menyusuri masa-masa bahagia. Seseorang pernah bertanya kepada saya tentang kebahagiaan, saya menjawab bahwa bahagia adalah dimana kamu bisa mendapatkan semua yang kamu inginkan dan semua orang yang mencitaimu serta selalu berada di sisimu. Namun orang itu hanya diam sambil tersenyum. Ia lalu berkata di sela senyumannya,”bahagia itu ketika kamu memori indah yang dapat kamu kenang selamanya hingga ajalmu menjemput”. Setelah kejadian itu, saya tersentak, tersedak. Saya tak pernah memikirkan akan mempunyai suatu kenangan yang tak terlupakan. Semua kejadian, tragedi, peristiwa indah pastinya akan cepat dilupakan. Foto, video, dan cerita tak akan memperpanjang kesenangan yang selama ini saya dapatkan. Saat itu, 17 tahun lalu, saya masih berumur 9 tahun. Hari dimana saya menjadi anak yatim, tepat dimana sesorang mengatakan hal itu kepada saya. Ya, ayah saya memeri tahu hakikat kebahagiaan baginya tepat saat ia pergi meninggalkan saya. Hari itu tiba-tiba langkah menjadi berat, mata menjadi buram, dan tangis membuncah entah mengapa. Saya merasa sangat bodoh menangisi orang yang sudah begitu jahat meninggalkan saya di dunia ini sedang saya bahkan belum mengerti apa artinya kebahagiaan. Satu hal yang saya pikirkan tentang perkataan ayah, bahwa kebahagiaan yang saya peroleh 9 tahun ini masih belum cukup untuk menandingi kesedihan ditinggalkan oleh idola nomor satu di hati saya. Saat semua anak sangat menyukai teletubbies, saya hanya menyukai ayah saya. Saat semua anak merengek minta dibelikan boneka Barbie, saya hanya merengek minta jalan-jalan ke jalan tol bersama ayah saya. Saat semua anak menangis karena dipukul, maka saya akan sangat ikhlas menerima sabuk yang melayang berkali-kali ke kaki mungil saya. Saya hanya anak kecil yang sangat merindukan ayah saya, merindukan pelukannya yang sangat hangat. Saya hanya sangat mencintai ayah saya. Akhirnya saya tahu mengapa ayah berkata bahwa kenangan indah merupakan hal yang paing penting, karena ia meninggalkan saya. Ayah saya meninggalkan saya. Kenangan pahit itu telah membuat hati saya keras. Tumbuh hanya dengan seorang Ibu, membuat saya merasa special. Beberapa bulan setelah kematian ayah, ibu sakit. Aku hanya seorang anak Ibu, Ayah. MEngapa engkau menimpakan masalah ini pada anak berumur 9 tahun? MEngapa saya harus melhat Ibu saya kesakitan karena merindukan Ayah. Apa yang bisa saya lakukan? Saya hanya bisa mengambilkan minum, memijat, menghibur, dan bahkan saya masih belum bisa bekerja. Setelah kejadian bertubi-tubi di masa-masa sulit saya. Saya berjanji akan menjadi orang seperti Ayah, juga memahami kebahagiaan seperti ayah. Saya akan membuat banyak kebahagiaan, kenangan tentang kebahagiaan. Kenangan indah yang tak akan terlupakan. 

Worlds Behind Ep. 1


Aku merasakan tubuhku. Mulai setengah jam yang lalu sepertinya kesadaranku mulai pulih. Tapi mengapa begitu gelap semua? Mengapa sulit sekali kugerakkan kaki dan tubuhku? Perlahan mulai kuraba sesuatu yang sepertinya menutupi wajahku. Perban. Seluruh wajahku dibalut dengan perban. Ada apa ini? Mengapa rasanya sakit sekali. Perih. Wajahku, apa yang telah mereka lakukan pada wajahku? Kucoba bergerak lagi dan meraba bagian tubuhku yang lain. Beberapa bagian tubuhku yang lain pula dibalut dengan perban. Semakin lama aku semakin bingung dan tiba-tiba rasa sakit yang tak terkira menyerang seluruh bagian tubuhku yang terbalut perban. Refleks saja aku berteriak kesakitan, “Aaaaack………Ya Allah. Sakit….” Berkali-kali aku berteriak hingga beberapa orang datang dan berbiacara bahasa korea. Ya Tuhan, tentu saja. Aku memang sedang berada di Seoul saat kejadian terakhir sebelum ragaku berubah menjadi seperti ini. Di tengah kesakitan, aku mencoba mengingat apa yang sebenarnya telah terjadi sebelumnya hingga aku berakhir disini. Tetap saja aku tak ingat. Karena enam bulan sudah aku berada di Seoul, aku sudah mengerti apa yang mereka katakana, yang mereka bicarakan. Sekelompok orang yang mendatangiku itu sepertinya adalah dokter dan beberapa perawat.
“Suster, anastesinya sudah habis. Dia akan mengalami sakit luar biasa di seluruh tubuhnya. Beri cairan penahan rasa sakit sekarang juga dan berikan secara berkala hingga ia tidak akan kesakitan seperti ini lagi!” Salah satu dari mereka berbicara. Mungkin itu adalah dokter.
“Baik dokter” salah satu perawat menjawab
Aku sudah tak bisa menahannya lagi. Aku hanya diam dan menahan rasa sakit saat salah satu perawat menyuntikan sesuatu pada tubuhku. Setelah itu aku kembali kehilangan kesadaran. Entah sudah berapa lama aku terbaring di ruangan ini dengan perban yang menempel di tubuh dan wajahku ini. Tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak di bagian wajahku. Seseorang. Seseorang pasti tengah mengganti perban dan pakaianku. Aku sudah sadar tapi tak bereaksi. Tubuhku terlalu lemah untuk melawan. Jadi, hanya akan kutunggu hingga mereka selesai mengganti perbanku. Beberapa saat kemudian baru kusadari bahwa mereka sudah tidak menutup mataku. Benarkah? Kuberanikan diri menggerakkan tangan dan meraba bagian mata. Benar. Mereka benar membuka perban bagian mata. Walaupun sudah kuraba bagian mata, tetap saja tak ingin ku membukanya. Bagaimana jika nanti aku benar-benar tak bisa membukanya? Bagaimana jika aku tak bisa melihat dunia lagi? Bagaimana jika hanya buram yang terlihat? Selanjutnya aku hanya diam hingga terdengan suara langkah kaki beberapa orang. Tampaknya itu bukan dokter dan perawat lagi. Karena mereka sudah berada di sampingku sedari tadi. Karena penasaran, kuberanikan diri membuka kedua kelopak mataku dan syukurlah aku masih memiliki pengelihatan seperti sebelumnya, bahkan lebih baik. Mulailah kujelajahi seisi ruangan tempat aku menginap selama ini. Benar, ini memang benar rumah sakit. Saat kulayangkan pandanganku pada bagian sisi kananku, selain dokter, terdapat beberapa orang setengah baya bertuxedo yang tersenyum ke arahku. Salah satu dari orang itu, aku mengenalinya. Aku yakin aku pernah melihat wajahnya. Meskipun terus kuingat, aku tetap lupa, sampai akhirnya salah satu dari mereka menyapaku.
“Selamat pagi. Bagaimana kabar anda? Apakah tubuh anda masih sakit sekali?”
Aku hanya mengangguk dan sedikit membungkuk sebagai tanda menghormatinya. Namun, orang itu tetap tersenyum seraya berbicara dengan dokter.
“Dokter, bagaimana dengan keadaan Alinda? Kapan tubuhnya akan memasuki masa penyembuhan?”
Oh Tuhan, mereka mengetahui namaku. Siapa mereka? Mengapa mereka mengetahui keadaanku lebih baik daripada keluargaku sendiri. Tidak! Keluargaku. Aku belum memberitahu mama tentang apa yang terjadi padaku. Apakah mama sudah datang ke seoul? Apa keluargaku sudah tau apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Semua pertanyaanku itu tetap saja terkumpul di otakku tanpa ada yang terjawab. Sementara itu, dokter sepertinya sedang member tahu keadaanku kepada orang yang tadi menyapaku.
“Alinda telah melalui operasi yang besar dan melelahkan. Selain itu, biusnya pun telah hilang dan ia tengah mengalami kesakitan luar biasa pada bagian-bagian yang dioprasi sebelumnya. Maka dari itu, kami hanya bisa memberikan obat peringan rasa sakit sementara hingga lukanya pulih dan ia akan memasuki proses penyembuhan.”
“Kira-kira, kapan hal itu akan terjadi?  Keadaannya pulih?” laki-laki itu bertanya kembali
Dokter menjawab “Keadaannya kini berangsur pulih. Sementara ini ia sudah mendapatkan kesadarannya, namun belum sepenuhnya. Setelah beberapa hari, ia mungkin sudah dapat berkomunikasi dan dapat mengkonfirmasi mengenai keluarganya.”
Aku mendengar semuanya. Apa yang mereka katakan tentang kondisiku.