Saat terbangun di pagi hari, aku
merasa sesuatu menghantam dadaku, dunia terasa gelap sekali, kepalaku pusing,
hatiku kesal, aku ingin marah sejadi-jadinya. Ada apa ini?
Padahal hari minggu ini sepertinya keadaan rumahku baik-baik saja, semua aman
dan terkendali tetapi kenapa hanya aku yang mengalami hal seperti ini. Dan pada
akhirnya, aku tak bisa lagi mengendalikan perasaan yang tak jelas ini. Aku
muntahkan semuanya, aku mengamuk, memberantakan seluruh isi kamarku, memecahkan
semua yang bisa dipecahkan, mengahncurkan semua yang bisa dihancurkan. Kemudian
aku berteriak, menangis entah apa yang terjadi hingga Ibuku yang sedang mengaji
pun tergerak untuk melihat keadaanku. ”Ya Allah de..... kamu ngapain? Kenapa
kamarmu jadi berantakan kaya gini!!” murka Ibu ku. Aku yang mendengar beliau
terus memarahiku tetap saja masih tidak mengerti dan tetap beraksi
memberantakan kamar menarik-narik bad cover tempat tidur. Sampai akhirnya Ibuku
menyerah dan berkata ”Ya sudah, terserah dede aja, pokoknya nanti mamah pulang
semuanya harus bersih dan rapi tapi kamu gak boleh minta bi Inah beresin
kamar.” Setelah itu Ibu pergi dan
bersiap-siap untu menghadiri salah satu pengajian yang diselenggarakan di
Islamic Centre Karawang. Aku, aku lalu tertunduk. Tak pernah aku merasa seburuk
ini, tetapi kejadian ini tak terjadi kali ini saja, sebenarnya ada apa dengan
diriku ini. Seraya aku melihat tanganku yang telah melakukan semua ini, aku
berpikir keras tapi tetap tak kutemukan jawaban keanehan-keanehanku akhir-akhir
ini.
Keesokan
harinya aku kembali menjadi \”diriku yang sebenarnya”. Kembali riang, tersenyum
dan seakan tak pernah terjadi apa-apa. Aku kemuadian tak pernah lagi mengingat
dan memikirkan kejadian-kejadian yang terjadi pada diriku pada hari-hari
kemarin. Tetapi tetap saja terkadang aku merasa bahwa aku yang ”pendiam”
menggantikan aku yang ”ceria”. Ya entahlah, sampai kapan perasaan ini akan
terus menghantuiku, tak tahu.
Seperti biasa
aku meneruskan hidupku dengan segala kegiatan membosankan yang memburuku setiap
hari. Mulai dari bangun tidur, hingga tidur lagi. Berangkat sekolah pagi hari,
hingga pulang pada petang lagi. Sampai pada suatu hari, hasil psikotest yang
telah aku jalani jauh hari keluar. Teman-teman terlihat begitu antusias, dan
aku, aku biasa saja. Tetapi ada sesuatu yang aneh yang baru aku sadari saat aku
melihat hasil tesku yang ke sekian kalinya. Mengapa pada bagian emosi aku
selalu mendapat C atau D? Apakah ini suatu ketidaknormalan atau hanya
perasaanku saja? Setelah beberapa saat aku berpikir keras, akhirnya aku merasa ini
hanyalah hal yang mungkin biasa terjadi pada anak yag sebaya denganku. Tidak
lama kemudian salah seorang temanku mengatakan bahwa aku di panggil guru BK. Ada apa lagi ini? Aku tidak
pernah merasa membuat kesalahan yang fatal akhir-akhir ini. Aku juga tak pernah
bolos jam pelajaran juga bolos masuk sekolah. Tidak terima aku tanyakan saja
pada temanku ”emangnya ada apa sih aku pake dipanggil segala?” lalu temanku itu
menjawab ”kayaknya sih masalah psikotest yag kemaren tuh, nilaimu turun kali!”.
Dalam hati aku merasa tak ada yang salah dengan nilai-nilai ataupun hasil
psikotest yang kemaren, IQ-ku juga gak jelek-jelek amat dibandingkan dengan
teman-teman yang lain. Ah, daripada bingung memikirkan itu semua langsung saja
aku menuju ruang BK untuk memenuhi panggilan. Setelah sampai, aku pun langsung
dipersilahkan masuk oleh salah satu guru BK yang menangani kelasku yaitu Bu Susi.
Dengan lembutnya beliau menasihatiku untuk lebih meningkatkan iman dan taqwa
kepada Tuhan YME, aku msih tak mengerti apa yang sebenarnya sedang dibicarakan
oleh Bu Susi. Aku dengarkan sajalah. Pada akhir pembicaraan, akhirnya Bu Susi
memberikanku sepucuk surat yang katanya harus kuberikan kepada orang tuaku
lebih spesifiknya adalah Ibuku. Setelah itu kutanyakanlah apa isi surat itu
pada Bu Susi. Beliau menjawab bahwa sebenarnya Ibuku harus datang ke sekolah
esok hari. Oh, aku tetap tak mengerti. Ya sudahlah, yang penting aku tak pernah
melakukan kesalahan yang fatal di sekolah akhir-akhir ini.
Malam hari di
rumah, segera saja kuserahkan surat yang tadi diberikan oleh Bu Susi kepada Ibuku.
Beliau hanya melihatnya sekilas dan kemudian kembali menekuni buku-buku S2 nya.
Hmmm, senag atau tidak ya punya Ibu yang rajin belajar? Keesokan harinya di
sekolah aku masih tidak tahu apakah Ibu akan mendatangi sekolahku atau tidak.
Tetapi beberapa saat kemudian, aku melihat sesosok wanita paruh baya yang
berjalan dengan anggunnya menuju ruang BK, saat itulah aku menyadari bahwa
wanita itu adalah Ibuku sendiri. Ternyata Ibu memang datang. Rasanya ingin
sekali membuntuti Ibu, ini pertama kalinya beliau datang ke sekolahku setelah
hampir dua tahun aku bersekolah. Lalu kuputuskan untuk membuntutinya sampai
beliau tiba di ruang BK. Melihat pembicaraan merika yang kelihatannya lumayan
serius aku penasaran dan memberanikan diri untuk menguping pembicaraan Ibu dan
Bu Susi. Saat itu juga......
Astaghfirullahal’adzim.........
aku terkena bipolar disorder. Penyakit kejiwaan itu, yang pernah aku browsing
di internet saat iseng. Benarkah Ya Allah???? Benarkah aku yang jadi korban
penyakit itu. Tak percaya dengan hasil pengupinganku, langsung saja aku berlari
menuju kelas untuk mencari hal yang lebih detail tentang bipolar disorder.
sekali kuketik dua kata ”bipolar disorder” pada mesin pencari GOOGLE langsung
saja keuar hasil pencarian mengenai salah satu penyakit jiwa itu.
Jadi,
sudah jelas sudah semua keanehan-keanehanku selama ini. Ketidaknormalan dan
hasil psikotestku yang selalu mendapat nilai C pada bagian emosinya memang
memiliki alasan yang jelas, ya hanya satu alasan yaitu ”bipolar disorder”. aku
masih tersenyum kecut setelah menyadari hal yang dibilang baik atau buruk
sedang menimpaku. Padahal aku sadar benar bahwa hatiku seakan sedang ditindih
dan dijepit oleh batu besar yang tidak terlihat. Kenyataan hidup yang baru aku
sadari justru pada saat aku seharusnya mengalami masa-masa terindah. Yang tak
pernah aku tahu hingga aku berumur 13 tahun.
Hari
berganti hari, tapi suasana hatiku tetap tak berganti. Aku mungkin tersenyum
senang di depan oran-orang, tapi mereka tak bisa melihat hatiku kyag kelewat
masam. Bayangkan saja, massa Ibu tak melakukan apa-apa mengetahui anaknya
menderita penyakit serius. Pada awalnya aku berpikir positif bahwa mungkin Ibu
bisa lebih memperhatikanku ketika beliau mengetahui anaknya mengalami penyakit
yang lumayan menyeramkan. Bukan aku tak pernah menghargai jasa Ibu, aku sangat
mencintainya melebihi hidupku sendiri,
tapi apakah seorang anak salah jika merasa ingin lebih diperhatikan? Mungkin
salah menurut Ibuku, hahaha.
Hari
Minggu yang sepi dan bosan seperti biasa aku duduk di depan TV melihat cara
mingguan kesukaanku yang biasanya disarkan. Di rumah tak ada seorangpun kecuali
aku dan Bi Inah. Tiba-tiba terdengar suara bel rumah berbunyi, hah Bi Inah
tidak dengar mungkin beliau masih di dapur. Ku buka saja pintu rumahku dan
mendapati seorang tamu wanita cantik berumur sekitar 27 tahun yang berbaju
merah dan memakai sepatu yang kasual. ”Wah, cantik sekali tante ini!” pikirku. Setelah
kutanyakan maksud kedatangannya aku persilahkan beliau untuk menunggu Ibuku di
dalam rumah. Tetapi entah mengapa saat itu, ia lebih banyak bertanya tentang diriku.
Tentang kebiasaan-kebiasaanku, pengalaman dan teman-temanku. Semakin lama aku
semakin merasa curiga dengan orang ini. Beberapa saat kemudian ia meminta izin
untuk pergi ke kamar kecil. Setelah mengambil beberapahelai tisu dari dalam
tasnya aku melihat ada dompet yang menjuntai keluar tas. Saat tante itu di
kamar kecil, aku tergerak untuk melihat isi doompetnya. Barangkali ada sedikit
informasi tentang orang asing ini. Ternyata saat kulihat kartu namanya, terbaca
jelas bahwa beliau adalah seorang Psikiater yang mungkin dikirim ibuku untuk
“mengobatiku”. Terasa bom atom meledak di dalam hatiku dan entah mengapa mataku
dengan sendirinya mengeluarkan air mata. Tak tahan lagi aku segera berlari
meninggalkan rumah. Aku terus berlari dan kemudian berjalan tak tahu arah,
otakku tak bisa berpikir logis. Aku memang masih kelas 2 SMP, walau aku masih
belum tahu apa-apa, tapi aku sudah bisa merasakan. Bisa merasakan sedih dan
sakit saat orang tua satu-satunya tak pernah berusaha mendekatkan diri
selayaknya ibu-ibu orang lain. Yang meskipun
aku tahu bahwa ibuku beribu-ribu kali lebih mencintai aku. Tetapi apakah
beliau tak mengerti, hanya dengan senyuman dan nasehatnya saja mungkin
penyakitku akan langsung sembuh dan tak kembali? Tak perlulah psikiater datang?
Tak perlu ada orang lain, tak ingin ada orang lain. Aku disini, tetap terisak
dengan tangisanku. Tak perduli lagi ada dimana. Aku merasa mencintai seorang
diri.
No comments:
Post a Comment