Berjalalan menyusuri jalan Braga dengan
sahabat-sahabat sejatimu itu mungkin sesuatu yang sangat menyenangkan yang tak
bisa dibandingkan dengan apapun. Sesuatu seperti ini sudah menjadi sebuah
kebiasaan sejak aku menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung. Bukan
karena aku suka berbelanja, bukan juga karena aku punya uang berlimpah sehingga
hanya perlu menghabisakannya. Tapi kebiasaan ini bermula sebelum bertemu
mereka, ketika aku ditimpa berbagai masalah mulai dari masalah akademik dan
non-akademik. Waktu itu, tepat 3 bulan setelah aku dilantik menjadi mahasiswa,
aku benar-benar terjatuh. Benar-benar jatuh tersungkur sehingga tak mampu lagi
berdiri, tak tahu lagi berpijak. Semua seakan meninggalkanku, teman-teman dari
asal ku. Setelah itu, aku hanya bisa berjalan tanpa tujuan. Aku berjalan
menyusuri jalan dekat kampus, terus menjauh dan menjauh hingga tiba di sebuah
jalan yang sangat ramai. Ada sebuah palang bertuliskan bahwa nama jalan itu
adalah jalan braga. Saat itulah aku sahabat-sahabat sejatiku saat ini.
Jam tanganku sudah menunjukan pukul 5 sore.
Tak seperti biasanya, kita selalu bertemu di simpang Dago jam 4 sore. Kemana
saja mereka? Apa jalanan begitu macet hingga mereka tak bisa datang tepat
waktu. Aku begitu penasasran hingga ku hubungi mereka berulang kali. tetap saja
tak ada jaawaban. Satu jam berlalu, kuputuskan untuk pulang saja ke rumah kos.
Hari ini memang hari jumat, tanda akan banyak penghuni kos yang pergi bersama
kekasih mereka atau paling tidak, dengan teman-teman mereka. Tapi aku bukan
orang yang mudah bergaul hingga memiliki banyak teman untuk diajak pergi. Bukan
pula anak yang sangat cantik sehingga memiliki kekasih. Mukaku benar-benar
pas-pasan menurutku. Tapi Kalila, salah satu temanku itu sering sekali
memperkenalkan aku dengan teman-teman laki-lakinya. Dia bilang aku sangat
cantik dan banyak temannya yang ingin berkenalan denganku. Semua itu mungkin
saja bisa dilakukan, maksudku memiliki kekasih. Entahlah, aku masih merasa
belum bisa menjalin hubungan sebelum aku bisa mencari uang sendiri. Sebelum
bisa membiayai diriku sendiri. Jadi, Friday night ini aku sendiri. Hanya
bergelut dengan komputer dan mixer ku mencoba untuk menulis beberapa lagu lain.
Aku diam bukan berarti aku tak respon dengan segala perubahan yang ada di dunia
ini. Aku mengerti semua genre musik, bahkan genre-genre baru yang muncul
belakangan ini. Aku menyukai beberapa diantaranya, seperti jazz, ballad, pop,
dll. Musik itu selalu dapat mengubah moodku seketika bila aku sedang lelah dengan
segala urusan kuliah. Bila aku bosan dengan segala kepalsuan yang ada di
himpunanku, di sekitarku, aku akan mendengarkan music, meresapinya hingga
mulailah aku membuatnya. Aku mulai membuat beberapa notasi dan irama tanpa
lirik yang berarti sehingga aku tak pernah berpikir untuk melengkapinya dengan
lirik. Tetapi setelah aku berpikir ulang, ternyata lirik lebih mampu mewakili
perasaan terdalam mu. Lebih membuatmu tenggelam di dalam lagu itu. Selanjutnya,
aku mulai dengan menulis lirik-lirik dalam bentuk puisi dan mencoba
menerapkannya dalam beberapa laguku. Lagu-laguku hanya aku dengarkan sendiri.
Tak pernah kucoba untuk memperdengarkan kepada orang lain. Aku terlalu takut
bahwa mereka tak akan menyukainya dan menertawakannya.
Sudah jam 12 malam tapi tetap tak ada yang
menjawab sms serta teleponku. Aku semakin bingung, ada apa dengan mereka semua.
Karena sudah bosan dengan internet, kucoba menyalakan TV dan acara pertama yang
muncul adalah acara berita TV malam. Kutonton saja dengan asal-salan saat berita
selanjutnya sangat mengganggu telingaku. Mereka menyebutkan tentang masalah
kecelakaan lima orang remaja wanita di Jalan Kopo Bandung. Aku pikir daerah itu
dekat dengan rumah kelima sahabatku. Saat kudengarkan beritanya dengan saksama,
seakan aku berhenti bernapas. Seprti ditimpa bongkahan es besar, tubuhku diam
dan mendingin. Keringat meluncur deras dari seluruh tubuhku. Itu mobil Kalila.
Mobil salah satu temanku dan ternyata kelima remaja yang ditimpa musibah itu
adalah benar-benar kelima temanku. Tubuhku bereaksi, air mata langsung keluar
saat sang reporter berkata bahwa kelima orang itu meninggal langsung di tempat.
Bergegas ku ambil jaket dan tas. Langsung saja ku naiki mini cooperku menuju
Rumah Sakit. Sesampainya disana, aku diberitahu bahwa kelima temanku sudah
berada di ruang jenazah. Seketika lutuku menjadi lemas, mata berkunang-kunang.
Aku tak mampu lagi menahan tangis yang pecah hingga semua orang memandangiku.
Bagaimana tidak, semua teman yang selalu menyeka air mataku, menemani
kesendirianku, menjadi sahabat sejatiku, pergi begitu saja saat aku bahkan
belum siap menghadapi dunia ini sendirian. Aku merasa saat ini hanya ada aku di
dunia ini. Aku akan kesepian lagi, kesakitan lagi dan terjatuh hingga
tersungkur lagi tanpa ada orang yang akan menyelamatkanku. Kulihat satu persatu
wajah terakhir mereka di ruang jenazah. Aku bahkan marah kepada mereka. Kenapa
kalian meninggalkanku sendiri disini. Kenapa mereka berlima pergi dan aku
tidak. Dan kenapa harus pergi selama-lamanya. Berjam-jam kuhabiskan waktuku
hingga mengantarkan mereka ke masing-masing mobil jenazah bersama keluarga
mereka menuju rumah mereka masing-masing. Aku tidak kuat lagi, aku hanya bisa
meringkuk melihat mereka pergi. Meringkuk sambil mendengarkan salah satu lagu
yang baru kubuat tadi malam. “Six is better than one”. Sebenarnya ini lagu
untuk kita berenam mengahdapi dunia. Namun kini hanya ada satu, aku, menghadapi
dunia, sendirian.
Kubuka kedua mataku dan berharap semua
kejadian kemarin hanyalah mimpi. Bahwa mereka masih ada di sampingku. Namun
sebanyak apapun aku menyangkal kenyataan itu, mereka tetap sudah berpulang dan
tak akan kembali lagi. Aku memutuskan untuk tetap meneruskan hidup, walau tanpa
pilar-pilar utama. Aku harus tetap menjadi seseorang yang sukses, seperti kata
orang tua dan saudara-saudaraku. Setidaknya mereka masih ada dan tak
meninggalkanku.
No comments:
Post a Comment